Tuesday, January 25, 2022

Sebuah Curhatan Menantu Perempuan Versus Mertua

 

Kisah Curhatan Seorang Menantu Perempuan

 

Bersumber dari Quora.com . Kisah ini menceritakan tentang curhatan menantu perempuan yang tinggal bersama dengan mertua lelakinya. Berikut kami sajikan kisah lengkapnya.

Hari ini adalah puncaknya aku meluapkan kekesalan yang sejak lama kupendam. Istilah "PERGI SULIT BERTAHAN SAKIT" mungkin lebih cocok untuk keadaanku selama ini.

Warning!!

Cerita ini sangat panjang, saya cerita disini karena bingung harus cerita kesiapa lagi selain ngadu sama Allah, bagi yang mau membaca silahkan simak, bagi yang malas tidak memaksa kok. Syukur2 ada satu aja yang mau mengerti posisiku saat ini. Lebih bersyukur lagi kalau banyak dukungan dari kalian, kalau menurut kalian aku salah ingatkan dan kasih tahu letak salahnya dimana. Dan kalau saya sudah melakukan hal yang benar, give me spirit 😊

Aku adalah anak bungsu dari keluarga sederhana yang menikah dengan seorang duda beranak satu. Anaknya ikut mantan istrinya. Suamiku anak tunggal, dia punya adik angkat laki-laki usia 22 tahun, tapi jarang pulang dikarenakan tempatnya ia bekerja jauh. Jadi di rumah, hanya tinggal suamiku dan ibunya, sementara ayah suamiku sudah meninggal.

Aku kenal suamiku hanya 4 bulan diperkenalkan sepupuku. Karena aku merasa banyak kecocokan dan aku tipikal orang yang anti pacaran lama-lama begitupun suamiku, jadi kami memutuskan untuk menikah. Walau pada awalnya keluargaku sempat ragu karena terlalu cepat dan status suamiku yang seorang duda. Tapi aku dengan pedenya meyakinkan keluargaku kalau aku bisa dan mampu menerimanya. Dengan polosnya pula aku siap begitu aja mau dibawa tinggal bareng mertua setelah menikah nanti. Toh, aku pikir suamiku anak tunggal dan mertuaku tinggal seorang diri, mungkin nantinya bisa jadi teman dan aku anggap sebagai ibuku sendiri.

Jeng, jeng, jeeeengg!

Benih-benih keretakan pun sudah mulai tampak dimulai saat pertama kali aku menginjakkan kaki dirumah mertua. Raut muka yang kurang ramah, sikapnya yang aku pikir pura-pura baik. Tapi aku tetap berprasangka baik, mungkin masih kagokan, toh aku juga baru mulai tinggal disini.

Semenjak tinggal di rumah mertua, aku menjalankan peranku sebagai seorang istri. Bangun pagi, masak, nyiapin keperluan suami. Saat aku masak, aku berharap bisa makan bareng dan mertua mau makan masakanku. Memang sih, dia nyicipin. Tapi raut mukanya nunjukkin sekali kaya jijik, gasuka atau apa aku kurang paham. Mertua cuma makan sedikit. Dan lama-lama mulai terlihat watak aslinya.

Dari mulai suka komen aku belanja dimana, komen aku beli tempe yang katanya udah mau busuk, mulai gapernah makan bareng, setiap dibeliin makanan dikomen buruk, sampai aku sisain masakanku di wadah terpisah karena belum makan, mulai gapernah di cicip. Pernah sekali mergokin masakanku yang aku simpan buat mertua udah ada di belakang rumah dibuang dikasih ayam. Kalau gamau kenapa ga bilang, biar kita makan aja jadi ga mubazir.

Aku nangis tersinggung sama suamiku, dan sebagai jalan keluar suamiku minta mulai masak masing-masing aja, aku turutin. Dan mertua ga banyak tanya, tapi dia marah saat masakannya ga di cicipin oleh kami. Lah mertua juga suka masak jenis sayuran dan lauk yg suka saya masak. Jadi saya pikir selama ini berarti mertua gasuka masakanku. Tapi aku berusaha ngalah lagi, dan mulai saat itu mertua yang ambil alih masak, uang belanja masak dikasihkan pada mertua. Kita tinggal makan saja, tugasku hanya menyiapkan keperluan suami, karena saat itu aku masih hamil 2 bulan.

Dan apa yang terjadi? Kita masih aja salah. Karena katanya aku kurang kerjaan, belum lagi tetangga yang julid bilang enak masak dimasakin mertua. Aku tersinggung lagi harus gimana? Suami bilang biarkan aja toh mertua yang mau masak dan ambil alih tugas dapur. Tapi aku ga puas sama pembelaan suami, aku mulai merengek ingin pisah rumah dari mertua walaupun ngontrak. Tapi suami nolak mengingat mertua hanya tinggal seorang diri, aku mengalah lagi karena memang kasihan, kalau kami tinggalin dan terjadi apa2 siapa yang tanggung jawab?

Aku berusaha cuek dengan sikap mertua, tapi makin lelah dengan sikapnya yang menjadi2. Mulai kalau ada pengajian gapernah ngajak, kalau ada tetangga yang ngundang gapernah kondangan pergi bareng. Bukankah ini jadi pertanyaan buat orang lain melihat mertua dan menantu kok masing2?

Sampai bulan puasa pun tiba, usia kandunganku menginjak 8 bulan. Sebagai menantu aku ingin diajak pergi tarawih bareng karena letak masjidnya bersebrangan dengan rumah mertua. Suami meminta mertua untuk ngajak aku, akupun ditungguin, dan dimasjid kami solat bersebelahan. Hal yang bikin aku tersinggung pun terjadi lagi. Ada tetangga seumuran aku yang juga sedang hamil 8 bulan, posisinya ada dibarisan tepat belakang kami. Mertuaku dengan ramahnya nanya2 dia tentang kehamilannya, tentang harus merhatiin ini merhatiin itu, gaboleh ini gaboleh itu. Sementara aku? Semenjak hamil jadi menantunya yang tinggal serumah, gapernah diperhatiin sedetail itu. Sebgai orang hamil yang gaboleh terlalu banyak pikiran, aku hanya ngaduin ini ke suami biar agak plong aja. Dan suami cuma menenangkanku aja. Oke aku terima.

Sampai tiba aku mendekati lahiran, masalah lahiran pun diperdebatkan. Ibuku ingin aku lahiran dikampungku, mertua juga ingin aku lahiran dikampungnya. Aku sampai stress dan cuma bisa nangis sesenggukan, karena kalau boleh jujur aku ingin lahiran dikampungku karena setidaknya ada ibuku yang bantu ngurus, mungkin itu juga tujuan ibuku mengingat tinggal bareng mertua ga sebebas tinggal bareng ibu sendiri yang kalau minta tolong ga ada istilah ga enak. Ibuku sampai bela2in datang ke rumah mertua buat minta ijin bawa aku pulang supaya lahiran dikampungku. Mertua membolehkan tapi dengan raut muka yang yah, ikhlas terpaksa.

Tapi ternyata Allah berkehendak lain, aku kontraksi lebih maju dari HPL. Aku pun ditakdirkan untuk lahiran di rumah mertua tanpa keburu dibawa ke puskesmas, dan mau gamau ibuku harus bolak balik menginap ikut mengurus bayiku, karena benar saja mertua ga terlalu ikut ngurus bayi, dia lebih ke mengurus cuciannya aja. Ibuku yang sudah 72 tahun, setiap pulang menginap pasti bawa cucian bajuku ke rumahnya untuk dicuci, mengingat aku yang belum diperbolehkan mengerjakan pekerjaan yang capek dan berat, dan di rumah mertuaku masih air sumur yang ditimba bukan PAM ataupun pompa air. Suamiku? Aku kesal karena dia ga peka ngurusin cucianku, tugas suamiku saat itu hanya menimba air menuhin bak buat nyuci mertua. Siapa yang gak kesel? Tapi ibuku bilangnya ridho, tapi aku suka kasian aja.

Sampai tiba 40 hari, ibuku sudah gapernah menginap lagi paling sesekali nengokin lalu pergi lagi. Dan dari sinilah awal mula aku semakin sebal sama mertuaku. Sebagai ibu muda yang baru punya anak, pasti ingin mengurus anaknya sendiri, mulai dari memandikan, pakein baju, mengASIhi, berjemur.

Tapi apa yg terjadi? Mertuaku mengambil alih semuanya seolah dia ibunya. Aku gapernah diberi kesempatan lama2 menggendong, paling kalau si bayi tidur baru dikasihkan ke aku, dan aku merasa diremehkan gabisa ngurusin bayi, apalgi bayiku saat itu bingung puting, dan miminya harus pumping dulu. Kenapa aku merasa diremehkan, karena pernah mertua bawa bayiku jalan2 ke tetangga, dan aku sebagai ibunya ingin gendong bayiku juga. Tapi dia bilang, gapapa dibawa jalan2 juga, miminya dibotol ini. Aku sebagai ibu si bayi merasa sakit hati, seolah aku tidak dibutuhkan si bayi, tugasku hanya memandikannya, pakein dia baju, dan jagain si bayi tidur doang. Akupun kurang dukungan dari suami, suami selalu meminta aku sabar dan ngalah terus. Sampai2 aku stress berat, karena mikirin aku yang kayak ga dibolehin deket sama anakku sendiri.

Dan apa akibatnya? ASIku seret, berbagai macam cara pun sudah di usahakan supaya ASIku mulai deras lagi. Dari mulai rutin makan sayuran pelancar ASI, minum suplemen penyubur ASI, minum susu pelancar ASI, konsultasi ke bidan, dan pada akhirnya pikiran dan hati yang tenang, serta banyak dukunganlah yang membuat ASI tetap ngalir, dan aku ga dapetin itu akhirnya ASIku benar2 surut, mulai usia bayiku 3,5 bulan aku ganti sufor sampai sekarang 7 bulan. Sedahsyat itu ya arti dukungan dari lingkungan dan keluarga terdekat.

Tidak hanya sampai situ, mertuaku ngomentarin aku yang selalu bawa anakku buat rutin imunisasi DPT yang mana efek sampingnya si bayi akan panas maksimal dua hari. Sementara mertuaku tipe orang yang menganut keyakinan tidak di imunisasi pun bayi tetap sehat. Boleh aja punya pemikiran seperti itu, tapi jangan ajak2 orang lain buat ikut pemahamannya. Aku cuek, toh ini anak aku, yang tahu keadaan anak aku ya ibunya sendiri. Sampai suatu hari, ketika DPT kedua, anakku panasnya ga ketulungan, rewelnya minta ampun, gamau digendong sama siapapum kecuali aku ibunya. Dan ternyata, diam2 mertua memendam kemarahan sama aku, tapi tidak diutarakan sama aku ataupun suami. Dia bilang hal ini, gosipin aku ke tetangga sebelah sobat gosipnya. Mungkin kalo si sobat mertua itu ga bilang lagi sama aku mungkin aku gabakal tau kalo teryata aku suka digosipin sama mertua ke tetangga lain.

Si sobat mertua bilang ke aku, kalau mertuaku kesal denger tangisan anakku yang ga berhenti2, dan nyalahin aku yang katanya ngapain anak sehat ceria di suntik dibikin sakit. Dan wow, aku kaget dong ternyata diomongin mertua dibelakang. Pengen ketawa juga, karena si sobat mertua ngapain diomongin lagi ke aku? Dari sinilah aku mulai menaruh kekurang percayaan sama mertua. Aku mulai bersikap dingin, cuek, dan berani kalau mertua mulai ikut campur. Karena jujur, aku ngadu sama suami pun ga pernah ada ketegasan. Karena aku mengerti suamiku takut durhaka dan takut mengundang keributan. Aku masih sabar.

Sampai bayiku usia 4 bulan, setiap mertua habis pulang dari rumah tetangga2 pasti suka banding2in anakku dengan anak yang lain. Mulai dari anak orang usia 4 bulan udah dikasih MPASI, ngebandingin sama jaman dulu juga gapapa 4 bulan dikasih makan, ngebandingin anak orang yang sering dibawa jalan2 sama neneknya. Karena jujur, aku mulai agak melarang anak aku digendong mertuaku sering2 karena aku gasuka anak aku dari bayi dicium2 pipi sama bibirnya. Nyiumnya bukan pake hidung lagi, tapi pake mulut. Hello, bayi itu sensitif kita gatau bakteri apa yang ada dalam mulut orang dewasa. Mending sudah sikat gigi, aku sering mergokin mertua yang habis makan sama ikan asin atau petai, sering juga gapernah mandi pagi suka pengen buru2 gendong anakku. Mungkin sebagian orang bilangnya lebay, tapi bagiku itu menjijikan. Bukankah mencegah lebih baik daripada mengobati.

Mertuaku pun sering ga sopan sama aku, sering suka tiba2 masuk kamarku dan langsung gendong anakku gituh aja tanpa basa basi. Padahal gorden kamarku tertutup, karena kamar2 dirumah mertua ga ada yang pake pintu masih gorden. Kamar bagiku adalah privasi, apalagi dalam keadaan tertutup, yang berrti yang punya kamar dalam keadaan gamau diganggu. Dan orang yang nyelonong gtuh aja tanpa permisi termasuk ga sopan bagiku walau itu orangtua.

Sebagai ibu, aku juga ingin anakku berkembang, membiarkan anakku guling2 dikasur atau dilantai beralas karpet biar ga kebiasaan digendong terus, biar perkembangannya baik sesuai usianya. Tapi apa? Dengan ngeyelnya mertua suka geregetan gendong anakku yang sedang asyik main di karpet, dengan dalih kasihan dadanya pengap. Aku kesal dong, aku marah dan ngadu ke suami. Dan lagi, suami ga ada ketegasan.

Dari banyaknya kekesalan2 ini yang dibuat mertua, dan aku merasa kurang dukungan juga dari suami. Aku mutusin buat tegas sama mertua, aku terapin sampai saat ini, kalau anakku sedang asyik main, mertua mau gendong, aku omongin langsung pernah ganggu anakku kalau lagi anteng main, toh anaknya juga ga ada reaksi ingin digendong. Mertuaku diam kesal kayanya dan gajadi gendong. Dan sampai sekarang mertuaku ga berani gendong anakku kalau anakku lagi sama aku, kecuali kalau lagi sama suami, mertuaku suka buru2 ngambil anakku dan dibawa main ke tetangga.

Lalu, masalah aku ingin pisah rumah walaupun ngontrak gapernah digubris suami, karena memang tetap alasnnya berat ninggalin ortu. Aku kasih pilihan tinggal di rumah ibuku karena memang ibu juga tinggal sendirian, tapi berdekatan dengan kakak2 ku hanya beda rumah di depan dan di belakang, suamiku tetap bingung, lalu aku nyaranin bayar rumah yang menempel dengan rumah mertuaku, beda pintu. Karena dulu juga itu bagian dari rumah mertua tapi sudah dijual pada orang lain, dan mau dijual lagi sama yg dulu membelinya. Dan suamiku belum mampu beli itu, tadinya aku pikir satu2nya jalan keluar ya itu, gapapa ga jauh2 pisah rumah yang penting beda pintu dan mertua tetap ke pantau. Tapi apa daya, suami masih harus memintaku sabar. Oke aku ngalah, tapi aku minta misah masak, misah perabotan rumah tangga, kalau misah dapur ga mungkin juga ga ada tempatnya. Dan suami pun menyanggupi tapi masih harus sabar karena uang belum terkumpul.

Dari usia anakku 5 bulan sampai 7 bulan sekarang, misah masak sama perabotan dapur baru terealisasikan sekarang itupun pakai uang aku hasil dari kakakku, karena aku sudah benar2 gatahan melihat mertua yang semakin menjadi2. Di rumah, aku mulai jarang bertegur sapa sama mertua, ngomg seperlunya. Anakku yang mulai gapernah digendong sama mertua, dan ternyata selama ini aku selalu digosipin mertua sama si sobatnya yang waktu itu. Mertua jelek2in aku yang katanya aku judes, ga bolehin dia buat gendong anakku, misah masak dan perabot pun sampai heboh tetangga2 pada tau dan pada kepo nanya2. Ada yang salahkah dengan aku misah masak nasi, lauk dan perabot?

Si sobat ga ngomongin langsung sih ke aku, kalau mertua gosipin aku ke tetangga yang lain juga. Tapi entah kenapa aku curiga aja semenjak dia ngomongin imunisasi anakku waktu itu, kok aku tahu mertua ngomongin aku? Karena suatu hari aku curiga, dan entah dorongam darimana aku ingin sekali lewat jalan samping warung ibunya si sobat mertua itu, karena aku tahu mertua lagi nongkrong disitu. Aku iseng dengerin dong, dan ternyata tepat dugaanku, aku lagi diomongin masalah masak misah, katanya buat apa misah pemborosan, terus buat apa misah perabot toh perabot dia juga banyak, kira2 begitu yang mertua bicarakan sama tetangga2 gosipnya di warung.

Aku ga lama diam disana, buru2 aku balik lagi yang penting aku tau kalau aku ternyata suka diomongin mertuaku. Dan masalah masak nasi misah magic com, karena mertua suka itungan. Katanya yang abisin nasi banyak aku sama suami, mertua hanya makan sedikit, jadi suka risih minta uang ke suami buat beli beras. Mending suami lagia da uang, kalau ga ada? Kita mah makan sama ketupat dan gorengan dua biji pun ga apa2 yang penting kebutuhan anak terpenuhi.

Lalu, masalah misah rak dan perabot. Mertua bilang punya dia juga banyak pakai aja. Iya kalau ngomongnya sama aku dan suami sih enak, ini bilangnya sama tetngga. Kalo bilang dari awal kan enak kita gaperlu belanja perabotan masak. Serba salah kan??

Aku merengek dong sama suami, supaya kasih tau ibunya jangam gosipin aku ke orang lain. Kalau ada kesal mending omongin langsung aja sama aku. Suamiku cuma mengiyakan, dan aku nunggu2 suamiku ga pernah nyampein ke mertuaku, aku cemberut kesal merasa gapernah dibela sama suami. Dari kejadian ini, aku semakin kentara memeperlihatkan raut mukaku yang terlihat jengkel sama mertua, dan mertua ga pernah betah dirumah, jadi suka lebih sering jalan ke tetangga2, mungkin makin gosipin aku. Entahlah. Padahal andai mertua nanya aku kenapa sikapku kayak gini, pasti aku omongin baik2. Tapi ngga, justru malah makin menjadi ngomongin aku. Aku masih tahan, sabar nunggu waktu yang tepat. Dan puncaknya, kemarin hari selasa, ibuku datang seorang diri main kesini dan kebetulan mertuaku lagi ada di warung tetangga, di rumah ha ya ada aku, suami dan anakku yang lagi tidur.

Aku lagi melipat baju dikamar, ibuku masuk dan aku persilahkan masuk ke.kamar aku ngobrol dikamar aja, sambil melipat baju dan jagain anakku tidur. Lagi ngobrol, terlihat mertuaku pulang masuk rumah, dan menyadari ada ibuku dikamarku, karena gorden kamarku sengaja terbuka. Tapi apa? Mertuaku lewat gituh aja tanpa nyapa ibuku padahal dia noleh ke kamarku. Ok, mungkin mau nyimpen dulu keresek ang dia bawa ke dapur.

Sampai anakku bangun, lalu kami bawa teras depan. Anakku digendong ibuku. Aku tungguin mertuaku ga keluar2 dari dapur menemui ibuku, padahal mertua lagi di ruang tengah Tt tau piring. Sampai ibuku gendong anakku ke depan, mertuaku baru keluar dan sibuk bolak balik jemuran dengan wajah tanpa dosanya. Lalu pergi lagi ke warung tempat gosipnya.

Ibuku ga lama balik lagi, lama mertua ga balik2 nemuin ibuku. Sampai terlihat balik ke rumah, tapi pura2 ga lihat dan sibuk bolak balik jemuran lagi. Mungkin kalo ibuku ga nanya duluan, mertua gabakal nyamperin dan salaman, abis itu buknnya nemenin ngobrol malah balik lagi ke warung gosipnya tanpa basa basi bilang santai aja dia mau ke depan. Kok ada ya manusia kaya gituh, ga menghormati tamunya, segitu juga ibuka besannya lho.

Sampai ada tamu lain, ibuku masih di sini, tamu itu mau menemui mertua dan aku diminta manggil mertua. Aku cariin mertua dan ternyata, emang benar2 keterlaluan dia ninggalin ibuku tanpa di sambut dengan asyik cekakak cekikik bergosip ria di warung. Aku semakin kesal, marah, ingin rasanya bilang saat itu juga. Tapi aku tahan karena ada tamu dan ibuku.

Sampai ibuku pulang, dan tamu pergi, mertuaku balik lagi ke warung. Dam aku meluapkan kekesalan aku sama suami minta dia ngasih tahu mertua. Suamiku mengiyakan. Dan seperti biasa, suamiku tak kunjung bilang ke mertua, kekesalanku yamg terpendam aku utarakan sendiri sama mertua hari ini di depan suamiku, dan adik angkat suamiku yang kebetulan pulang.

Mertuaku sedang duduk di kursi teras, aku yang habis pulang dari warung, berpura2 dengar omongan tetangga yang gosipin aku. Aku sindir mertua, dengan bilang bahwa aku orang yang jarang keluar rumah, jarang bergaul dan berkumpul, apalagi ngomongin orang, aku keluar seperlunya, aku kesal sama mertua pun gapernah aku gosipin ke tetangga ataupun ke keluarga dirumah. Dan apa yang terjadi? Mertuaku terpancing dan jujur sendiri bahwa memang dia sering gosipin aku sama tetangga yang lain.

Dari situlah aku mulai keluarkan unek2 aku selama tinggal disini sampai kejadina sama ibuku hari itu. Dan sebenarnya masih banyak lagi, dan mertua ga tera dan ga mau ngaku salah, puncaknya dia pergi ke dalam rumah nangis sesenggukan ngadu ke adik iparku. Dan kalian tahu nangisnya seperti apa? Dia nangis layaknya anak kecil yang tantrum sampai guling2 dilantai gamau disalahkan, padahal aku ngomong pelan2 dan belum semua unek2 aku keluarkan.

Suami dan adik iparku bingung harus gimana, mengingat memang watak dan sifat mertua seperti itu. Yang mana segimanapun mertua salag, kalau terlampau dipojokkan akan ngadat seperti itu. Aku hanya meringis dan berpikir curang. Aku belum nangis saat kejadian ini, masih kuat karena sambil gendong anakku juga.

Dan tiba2, mertuaku keluar rumah ke jalan sambil nangis kenceng mencari orang yang nyampein cerita dia ke aku. Aku bilang ga ada, aku hanya menjebak dengan sindiran dan ternyata feeling ku kuat.

Dia makin menjadi2 dong nangisnya, sampai ngeluarin baju dari lemari mau pergi, tapi ditahan sama adik iparku. Akhirnya dia semakin nafsu dan nangis guling2 dilantai sambil maki2 aku kaya orang kesurupan. Dan hal ini mengundang perhatian tetangga yg lain. Ibunya si sobat dan tetngga depan rumah yang julid datang nyamperin ke rumah. Aku kira bakal belain aku, atau setidaknya jadi penengah, ternyata aku malah makin terpojokkan.

Ibunya si sobat malah minta aku buat minta maaf, biar nangisnya reda, adik ipar aku juga sama ditambah minta aku buat ngalah karena memang watak dia kaya gituj katanya, si julid malah ngomporin, bilang mertua jangan kemana2 itu rumah mertua dan jangan mau kalah, seolah2 biarin aja aku yang pergi. Suami? Dia belain sih dengan nasehatin mertua, dan minta dengerin baik2 dulu, tapi bukan malah membantu, malah semakin membuat si mertua ngamuk menjadi2. Jadi suamiku kebingungan sendiri.

Pikiranku berkecamuk, ingin rasanya pergi dari keadaan ini saat itu juga, mengingat aku ga ada satupun yang membela aku dan berpihak sama aku. Semua tetangga melihat tajam ke arahku dan mengasihani mertuaku. Apakah aku salah? Dimana letak salahnya aku? Aku ga bisa bebas berekspresi dan mengutarakn kekesalanku saat ini, melihat anakku, aku berusaha ngalah dengan minta maaf duluan sama mertuaku, bukan untuk menikhlaskan kekesalanku. Hanya agar dia berhenti ngamuk2 kaya anak kecil.

Minta maaflah aku dengan syarat, jangan pernah lagi ngomongin aku ke orang lain. Kalo ada kesal sama aku lebih baik diomongin langsung ke aku, taoi apa responnya? Mertuaku mau ngamuk lagi dengan alasan aku membahas lagi masalah itu, intinya dia gamau disalahkan dan aku harus minta maaf tanpa syarat. Aku korban, aku pula yang harus mengalah?

Aku masuk kamar, saat anakku tidur, aku mulai nangis sesenggukan dibawah bantal agar tak terdengar siapapun, bayangkan jadi aku, ga adakah satupun orang yang kasihan sama aku? Atau sedikit saja mau duduk dengar ceritaku, disini dikampung suamiku ga ada satu pun, bahkan suamikupun tetap hatinya masih berat sama ibunya, ditambah adik iparku mewanti2 suamiku untuk jangan ninggalin ibunya.

Suamiku datang menghampiri, dan coba nenangin aku. Tapi nangisku semakin menjadi, karena kesal masalahnya malah makin runyam karena makin banyak tetangga yang tau, dan aku yang disalahkan, aku jadi ga berani keluar karena takut tatapan tetangga2, mertua yang mungkin puas sendiri tertawa jahat merasa menang, karena curang pumya.senjata nangis ngamuk guling2 dilantai.

Jadi, sekarang aku bingung. Aku gapunya tempat cerita. Walau bagaimanapun aku takut belum berani bercerita ke keluargaku tentang masalah ini. Makanya aku nulis cerita ini disini, siapa tahu ada yang mau mengerti dan minimal mengurangi beban hati dan pikiranku.

Haruskah aku pulang ke rumah orangtuaku? Dan suami tetap tinggal dengan ibunya? Lalu apakah arti sebuah pernikahan kalau tinggal saja berpisah2 seperti ini. Lalu, haruskah aku tetap bertahan disini dengan batin yang terus2an disiksa, harga diri yang dinjak2 terus2an harus mengalah tanpa pembelaan siapapum dan suami yang kurang tegas, apa kabar nanti dengan mentalku. Atau apakah aku harus memilih jalan pisah dengan suamiku? Lalu bagaimana dengan nasib anakku, kenapa dia yang harus jadi korban keegoisan orang2 dewasa. Jujur, suamiku memang baik, dapat diandalkan, pekerja keras, tanggung jawab, ibadahnya bagus, tapi satu dia kurang tegas.

Padahal inginku hanya ingin berbakti sama suami, ikut kemanapun suami membawaku. Tapi tentunya umah tangga butuh kenyamanan, kebebasan menentukan arah rumah tangganya mau dibawa kemana, bukan rumah tangga yang selalu disetir oleh ibu mertua, apa2 harus bagaimana ibu mertua, maka beruntunglah bagi kalian yang dapat mertua baik menganggap kalian seperti anaknya sendiri. Hanya orang2 yang bernasib sama seperti saya yang mampu merasakan bagaimana rasanya tinggal seatap dengan mertua yang seperti ini.

Asal kalian tau, aku merengek.minta pulang aja ke rumah orang tuaku. Semtara suamiku masih berkecamuk dalam kebingungannya. Tapi andai saja mertuaku mau sebentar saja duduk mendengar keluh kesahku, apa yang menjadi kekesalanku selama ini ke dia, dan dia juga mau menumpahkan unek2nya kepadaku, kita saling memaafkan, mencari jalan keluar baiknya gimana, mungkin aku bisa nerima. Toh maunya aku hanya ingin mertua nganggap aku sebagai anaknya, akur, ngasuh anakku bareng2, ga ikut campur masalah rumah tangga anaknya, jika ingin pisah rumah beri dukungan, lagian kita juga ga bakal nelantarin, pasti kita sesekali nginep, sakit dijenguk, di urusin. Sederhana kok, ga neko2 sampe minta emas batangan, sesusah itukah?

Oia, mertuaku selalu nyangka aku dikasih uamg banyak sama suamiku. Karena mungkin suamiku sudah jarang ngasih banyak kaya waktu belum nikah dulu. Bahkan suamiku pernah ga ngasih, karena usaha dagangnya lagi sepi, mungkin uang yang suamiku berikan sama mertua bisa aja cukup kalau untuk beli beras lauk dan jajan, tapi pasti ga akan pernah merasa cukup kalau digunakan untuk menutupi hutang2nya sama 5 orang bank keliling yang saya tahu suka bolak balik nagih ke rumah. Iya, mertuaku banyak hutangnya ke bank keliling entah untuk apa uang itu gapernah tahu sigunakan untuk apa, atau mungkinkah hanya ikut2an tetangga yang pada minjam juga.

Tetangga yang lain enak, minjam ke bank keliling dipakai modal dagang, ngewarung, jadi uanya muter. Lah mertuaku? Cuma ngandelin pemberian dari anak buat byar2 hutangnya, ya ga bakal cukup. Sementara adik ipar yang jarang pulang gapernah ngasih uang gede. Ya ga ketulungan lah hutang2nya, makanya seringkali uring2an nyebut gapunya uang, sementara suami ngasih ke.mertua buat makan dan jajan, bukan buat bayar hutang. Iya kalau suamiku penghasilannya menentu dan gede, kita bisa makan tiap hari aja alhamdulillah selalu di syukurin. Tapi mertua gapernah mau tahu, sering ditegur buat berhenti ikutan bank keliling, responnya malah balik marah.

Makanya aku bilang istilah PERGI SULIT BERTAHAN SAKIT, bakal lebih cocok di keadaanku saat jni.aku bener2 buntu saat ini harus gimna? Pergi dari sinikah? Lingkungan ini udah ga nyaman buat aku, semuanya memusuhiku, kenapa orangtua gapernah salah? Kenapa anak yang selalu durhaka.walau pun orang tuanya salah? Ga adakah orangtua durhaka?

Apakah aku harus tetap bertahan dengan tiap hari hari menahan batin yang tersiksa? Tanpa bisa bebas mengungkapkan pendapat?

Atau aku harus berpisah saja, biar adil. Aku tenang di rumah orangtuaku dengan anakku, suamiku juga tenang ga bimbang lagi buat ninggalin ibunya. Akupun belum berani cerita ke keluarga, aku bener2 bingung. Sampai gabisa tidur karena banyak pikiran.

 

Semoga kisah ini dapat menjadi pelajaran bagi kaum laki-laki. Silahkan tinggalkan kolom komentar ya.. he...

 

Sumber Cerita :

Jawaban untuk Apa yang membuatmu menangis hari ini? oleh Iwa Kartiwa 

Baca Juga
No comments:
Write comments