Bersumber dari Quora.com . Kisah ini menceritakan tentang curhatan menantu perempuan yang tinggal bersama dengan mertua lelakinya. Berikut kami sajikan kisah lengkapnya.
Hari
ini adalah puncaknya aku meluapkan kekesalan yang sejak lama kupendam.
Istilah "PERGI SULIT BERTAHAN SAKIT" mungkin lebih cocok untuk keadaanku
selama ini.
Warning!!
Cerita
ini sangat panjang, saya cerita disini karena bingung harus cerita
kesiapa lagi selain ngadu sama Allah, bagi yang mau membaca silahkan
simak, bagi yang malas tidak memaksa kok. Syukur2 ada satu aja yang mau
mengerti posisiku saat ini. Lebih bersyukur lagi kalau banyak dukungan
dari kalian, kalau menurut kalian aku salah ingatkan dan kasih tahu
letak salahnya dimana. Dan kalau saya sudah melakukan hal yang benar,
give me spirit 😊
Aku
adalah anak bungsu dari keluarga sederhana yang menikah dengan seorang
duda beranak satu. Anaknya ikut mantan istrinya. Suamiku anak tunggal,
dia punya adik angkat laki-laki usia 22 tahun, tapi jarang pulang
dikarenakan tempatnya ia bekerja jauh. Jadi di rumah, hanya tinggal
suamiku dan ibunya, sementara ayah suamiku sudah meninggal.
Aku
kenal suamiku hanya 4 bulan diperkenalkan sepupuku. Karena aku merasa
banyak kecocokan dan aku tipikal orang yang anti pacaran lama-lama
begitupun suamiku, jadi kami memutuskan untuk menikah. Walau pada
awalnya keluargaku sempat ragu karena terlalu cepat dan status suamiku
yang seorang duda. Tapi aku dengan pedenya meyakinkan keluargaku kalau
aku bisa dan mampu menerimanya. Dengan polosnya pula aku siap begitu aja
mau dibawa tinggal bareng mertua setelah menikah nanti. Toh, aku pikir
suamiku anak tunggal dan mertuaku tinggal seorang diri, mungkin nantinya
bisa jadi teman dan aku anggap sebagai ibuku sendiri.
Jeng, jeng, jeeeengg!
Benih-benih
keretakan pun sudah mulai tampak dimulai saat pertama kali aku
menginjakkan kaki dirumah mertua. Raut muka yang kurang ramah, sikapnya
yang aku pikir pura-pura baik. Tapi aku tetap berprasangka baik, mungkin
masih kagokan, toh aku juga baru mulai tinggal disini.
Semenjak
tinggal di rumah mertua, aku menjalankan peranku sebagai seorang istri.
Bangun pagi, masak, nyiapin keperluan suami. Saat aku masak, aku
berharap bisa makan bareng dan mertua mau makan masakanku. Memang sih,
dia nyicipin. Tapi raut mukanya nunjukkin sekali kaya jijik, gasuka atau
apa aku kurang paham. Mertua cuma makan sedikit. Dan lama-lama mulai
terlihat watak aslinya.
Dari
mulai suka komen aku belanja dimana, komen aku beli tempe yang katanya
udah mau busuk, mulai gapernah makan bareng, setiap dibeliin makanan
dikomen buruk, sampai aku sisain masakanku di wadah terpisah karena
belum makan, mulai gapernah di cicip. Pernah sekali mergokin masakanku
yang aku simpan buat mertua udah ada di belakang rumah dibuang dikasih
ayam. Kalau gamau kenapa ga bilang, biar kita makan aja jadi ga mubazir.
Aku
nangis tersinggung sama suamiku, dan sebagai jalan keluar suamiku minta
mulai masak masing-masing aja, aku turutin. Dan mertua ga banyak tanya, tapi
dia marah saat masakannya ga di cicipin oleh kami. Lah mertua juga suka
masak jenis sayuran dan lauk yg suka saya masak. Jadi saya pikir selama
ini berarti mertua gasuka masakanku. Tapi aku berusaha ngalah lagi, dan
mulai saat itu mertua yang ambil alih masak, uang belanja masak
dikasihkan pada mertua. Kita tinggal makan saja, tugasku hanya
menyiapkan keperluan suami, karena saat itu aku masih hamil 2 bulan.
Dan
apa yang terjadi? Kita masih aja salah. Karena katanya aku kurang
kerjaan, belum lagi tetangga yang julid bilang enak masak dimasakin
mertua. Aku tersinggung lagi harus gimana? Suami bilang biarkan aja toh
mertua yang mau masak dan ambil alih tugas dapur. Tapi aku ga puas sama
pembelaan suami, aku mulai merengek ingin pisah rumah dari mertua
walaupun ngontrak. Tapi suami nolak mengingat mertua hanya tinggal
seorang diri, aku mengalah lagi karena memang kasihan, kalau kami
tinggalin dan terjadi apa2 siapa yang tanggung jawab?
Aku
berusaha cuek dengan sikap mertua, tapi makin lelah dengan sikapnya
yang menjadi2. Mulai kalau ada pengajian gapernah ngajak, kalau ada
tetangga yang ngundang gapernah kondangan pergi bareng. Bukankah ini
jadi pertanyaan buat orang lain melihat mertua dan menantu kok masing2?
Sampai
bulan puasa pun tiba, usia kandunganku menginjak 8 bulan. Sebagai
menantu aku ingin diajak pergi tarawih bareng karena letak masjidnya
bersebrangan dengan rumah mertua. Suami meminta mertua untuk ngajak aku,
akupun ditungguin, dan dimasjid kami solat bersebelahan. Hal yang bikin
aku tersinggung pun terjadi lagi. Ada tetangga seumuran aku yang juga
sedang hamil 8 bulan, posisinya ada dibarisan tepat belakang kami.
Mertuaku dengan ramahnya nanya2 dia tentang kehamilannya, tentang harus
merhatiin ini merhatiin itu, gaboleh ini gaboleh itu. Sementara aku?
Semenjak hamil jadi menantunya yang tinggal serumah, gapernah
diperhatiin sedetail itu. Sebgai orang hamil yang gaboleh terlalu banyak
pikiran, aku hanya ngaduin ini ke suami biar agak plong aja. Dan suami
cuma menenangkanku aja. Oke aku terima.
Sampai
tiba aku mendekati lahiran, masalah lahiran pun diperdebatkan. Ibuku
ingin aku lahiran dikampungku, mertua juga ingin aku lahiran
dikampungnya. Aku sampai stress dan cuma bisa nangis sesenggukan, karena
kalau boleh jujur aku ingin lahiran dikampungku karena setidaknya ada
ibuku yang bantu ngurus, mungkin itu juga tujuan ibuku mengingat tinggal
bareng mertua ga sebebas tinggal bareng ibu sendiri yang kalau minta
tolong ga ada istilah ga enak. Ibuku sampai bela2in datang ke rumah
mertua buat minta ijin bawa aku pulang supaya lahiran dikampungku.
Mertua membolehkan tapi dengan raut muka yang yah, ikhlas terpaksa.
Tapi
ternyata Allah berkehendak lain, aku kontraksi lebih maju dari HPL. Aku
pun ditakdirkan untuk lahiran di rumah mertua tanpa keburu dibawa ke
puskesmas, dan mau gamau ibuku harus bolak balik menginap ikut mengurus
bayiku, karena benar saja mertua ga terlalu ikut ngurus bayi, dia lebih
ke mengurus cuciannya aja. Ibuku yang sudah 72 tahun, setiap pulang
menginap pasti bawa cucian bajuku ke rumahnya untuk dicuci, mengingat
aku yang belum diperbolehkan mengerjakan pekerjaan yang capek dan berat,
dan di rumah mertuaku masih air sumur yang ditimba bukan PAM ataupun
pompa air. Suamiku? Aku kesal karena dia ga peka ngurusin cucianku,
tugas suamiku saat itu hanya menimba air menuhin bak buat nyuci mertua.
Siapa yang gak kesel? Tapi ibuku bilangnya ridho, tapi aku suka kasian
aja.
Sampai
tiba 40 hari, ibuku sudah gapernah menginap lagi paling sesekali
nengokin lalu pergi lagi. Dan dari sinilah awal mula aku semakin sebal
sama mertuaku. Sebagai ibu muda yang baru punya anak, pasti ingin
mengurus anaknya sendiri, mulai dari memandikan, pakein baju, mengASIhi,
berjemur.
Tapi
apa yg terjadi? Mertuaku mengambil alih semuanya seolah dia ibunya. Aku
gapernah diberi kesempatan lama2 menggendong, paling kalau si bayi
tidur baru dikasihkan ke aku, dan aku merasa diremehkan gabisa ngurusin
bayi, apalgi bayiku saat itu bingung puting, dan miminya harus pumping
dulu. Kenapa aku merasa diremehkan, karena pernah mertua bawa bayiku
jalan2 ke tetangga, dan aku sebagai ibunya ingin gendong bayiku juga.
Tapi dia bilang, gapapa dibawa jalan2 juga, miminya dibotol ini. Aku
sebagai ibu si bayi merasa sakit hati, seolah aku tidak dibutuhkan si
bayi, tugasku hanya memandikannya, pakein dia baju, dan jagain si bayi
tidur doang. Akupun kurang dukungan dari suami, suami selalu meminta aku
sabar dan ngalah terus. Sampai2 aku stress berat, karena mikirin aku
yang kayak ga dibolehin deket sama anakku sendiri.
Dan
apa akibatnya? ASIku seret, berbagai macam cara pun sudah di usahakan
supaya ASIku mulai deras lagi. Dari mulai rutin makan sayuran pelancar
ASI, minum suplemen penyubur ASI, minum susu pelancar ASI, konsultasi ke
bidan, dan pada akhirnya pikiran dan hati yang tenang, serta banyak
dukunganlah yang membuat ASI tetap ngalir, dan aku ga dapetin itu
akhirnya ASIku benar2 surut, mulai usia bayiku 3,5 bulan aku ganti sufor
sampai sekarang 7 bulan. Sedahsyat itu ya arti dukungan dari lingkungan
dan keluarga terdekat.
Tidak
hanya sampai situ, mertuaku ngomentarin aku yang selalu bawa anakku
buat rutin imunisasi DPT yang mana efek sampingnya si bayi akan panas
maksimal dua hari. Sementara mertuaku tipe orang yang menganut keyakinan
tidak di imunisasi pun bayi tetap sehat. Boleh aja punya pemikiran
seperti itu, tapi jangan ajak2 orang lain buat ikut pemahamannya. Aku
cuek, toh ini anak aku, yang tahu keadaan anak aku ya ibunya sendiri.
Sampai suatu hari, ketika DPT kedua, anakku panasnya ga ketulungan,
rewelnya minta ampun, gamau digendong sama siapapum kecuali aku ibunya.
Dan ternyata, diam2 mertua memendam kemarahan sama aku, tapi tidak
diutarakan sama aku ataupun suami. Dia bilang hal ini, gosipin aku ke
tetangga sebelah sobat gosipnya. Mungkin kalo si sobat mertua itu ga
bilang lagi sama aku mungkin aku gabakal tau kalo teryata aku suka
digosipin sama mertua ke tetangga lain.
Si
sobat mertua bilang ke aku, kalau mertuaku kesal denger tangisan anakku
yang ga berhenti2, dan nyalahin aku yang katanya ngapain anak sehat
ceria di suntik dibikin sakit. Dan wow, aku kaget dong ternyata
diomongin mertua dibelakang. Pengen ketawa juga, karena si sobat mertua
ngapain diomongin lagi ke aku? Dari sinilah aku mulai menaruh kekurang
percayaan sama mertua. Aku mulai bersikap dingin, cuek, dan berani kalau
mertua mulai ikut campur. Karena jujur, aku ngadu sama suami pun ga
pernah ada ketegasan. Karena aku mengerti suamiku takut durhaka dan
takut mengundang keributan. Aku masih sabar.
Sampai
bayiku usia 4 bulan, setiap mertua habis pulang dari rumah tetangga2
pasti suka banding2in anakku dengan anak yang lain. Mulai dari anak
orang usia 4 bulan udah dikasih MPASI, ngebandingin sama jaman dulu juga
gapapa 4 bulan dikasih makan, ngebandingin anak orang yang sering
dibawa jalan2 sama neneknya. Karena jujur, aku mulai agak melarang anak
aku digendong mertuaku sering2 karena aku gasuka anak aku dari bayi
dicium2 pipi sama bibirnya. Nyiumnya bukan pake hidung lagi, tapi pake
mulut. Hello, bayi itu sensitif kita gatau bakteri apa yang ada dalam
mulut orang dewasa. Mending sudah sikat gigi, aku sering mergokin mertua
yang habis makan sama ikan asin atau petai, sering juga gapernah mandi
pagi suka pengen buru2 gendong anakku. Mungkin sebagian orang bilangnya
lebay, tapi bagiku itu menjijikan. Bukankah mencegah lebih baik daripada
mengobati.
Mertuaku
pun sering ga sopan sama aku, sering suka tiba2 masuk kamarku dan
langsung gendong anakku gituh aja tanpa basa basi. Padahal gorden
kamarku tertutup, karena kamar2 dirumah mertua ga ada yang pake pintu
masih gorden. Kamar bagiku adalah privasi, apalagi dalam keadaan
tertutup, yang berrti yang punya kamar dalam keadaan gamau diganggu. Dan
orang yang nyelonong gtuh aja tanpa permisi termasuk ga sopan bagiku
walau itu orangtua.
Sebagai
ibu, aku juga ingin anakku berkembang, membiarkan anakku guling2
dikasur atau dilantai beralas karpet biar ga kebiasaan digendong terus,
biar perkembangannya baik sesuai usianya. Tapi apa? Dengan ngeyelnya
mertua suka geregetan gendong anakku yang sedang asyik main di karpet,
dengan dalih kasihan dadanya pengap. Aku kesal dong, aku marah dan ngadu
ke suami. Dan lagi, suami ga ada ketegasan.
Dari
banyaknya kekesalan2 ini yang dibuat mertua, dan aku merasa kurang
dukungan juga dari suami. Aku mutusin buat tegas sama mertua, aku
terapin sampai saat ini, kalau anakku sedang asyik main, mertua mau
gendong, aku omongin langsung pernah ganggu anakku kalau lagi anteng
main, toh anaknya juga ga ada reaksi ingin digendong. Mertuaku diam
kesal kayanya dan gajadi gendong. Dan sampai sekarang mertuaku ga berani
gendong anakku kalau anakku lagi sama aku, kecuali kalau lagi sama
suami, mertuaku suka buru2 ngambil anakku dan dibawa main ke tetangga.
Lalu,
masalah aku ingin pisah rumah walaupun ngontrak gapernah digubris
suami, karena memang tetap alasnnya berat ninggalin ortu. Aku kasih
pilihan tinggal di rumah ibuku karena memang ibu juga tinggal sendirian,
tapi berdekatan dengan kakak2 ku hanya beda rumah di depan dan di
belakang, suamiku tetap bingung, lalu aku nyaranin bayar rumah yang
menempel dengan rumah mertuaku, beda pintu. Karena dulu juga itu bagian
dari rumah mertua tapi sudah dijual pada orang lain, dan mau dijual lagi
sama yg dulu membelinya. Dan suamiku belum mampu beli itu, tadinya aku
pikir satu2nya jalan keluar ya itu, gapapa ga jauh2 pisah rumah yang
penting beda pintu dan mertua tetap ke pantau. Tapi apa daya, suami
masih harus memintaku sabar. Oke aku ngalah, tapi aku minta misah masak,
misah perabotan rumah tangga, kalau misah dapur ga mungkin juga ga ada
tempatnya. Dan suami pun menyanggupi tapi masih harus sabar karena uang
belum terkumpul.
Dari
usia anakku 5 bulan sampai 7 bulan sekarang, misah masak sama perabotan
dapur baru terealisasikan sekarang itupun pakai uang aku hasil dari
kakakku, karena aku sudah benar2 gatahan melihat mertua yang semakin
menjadi2. Di rumah, aku mulai jarang bertegur sapa sama mertua, ngomg
seperlunya. Anakku yang mulai gapernah digendong sama mertua, dan
ternyata selama ini aku selalu digosipin mertua sama si sobatnya yang
waktu itu. Mertua jelek2in aku yang katanya aku judes, ga bolehin dia
buat gendong anakku, misah masak dan perabot pun sampai heboh tetangga2
pada tau dan pada kepo nanya2. Ada yang salahkah dengan aku misah masak
nasi, lauk dan perabot?
Si
sobat ga ngomongin langsung sih ke aku, kalau mertua gosipin aku ke
tetangga yang lain juga. Tapi entah kenapa aku curiga aja semenjak dia
ngomongin imunisasi anakku waktu itu, kok aku tahu mertua ngomongin aku?
Karena suatu hari aku curiga, dan entah dorongam darimana aku ingin
sekali lewat jalan samping warung ibunya si sobat mertua itu, karena aku
tahu mertua lagi nongkrong disitu. Aku iseng dengerin dong, dan
ternyata tepat dugaanku, aku lagi diomongin masalah masak misah, katanya
buat apa misah pemborosan, terus buat apa misah perabot toh perabot dia
juga banyak, kira2 begitu yang mertua bicarakan sama tetangga2 gosipnya
di warung.
Aku
ga lama diam disana, buru2 aku balik lagi yang penting aku tau kalau
aku ternyata suka diomongin mertuaku. Dan masalah masak nasi misah magic
com, karena mertua suka itungan. Katanya yang abisin nasi banyak aku
sama suami, mertua hanya makan sedikit, jadi suka risih minta uang ke
suami buat beli beras. Mending suami lagia da uang, kalau ga ada? Kita
mah makan sama ketupat dan gorengan dua biji pun ga apa2 yang penting
kebutuhan anak terpenuhi.
Lalu,
masalah misah rak dan perabot. Mertua bilang punya dia juga banyak
pakai aja. Iya kalau ngomongnya sama aku dan suami sih enak, ini
bilangnya sama tetngga. Kalo bilang dari awal kan enak kita gaperlu
belanja perabotan masak. Serba salah kan??
Aku
merengek dong sama suami, supaya kasih tau ibunya jangam gosipin aku ke
orang lain. Kalau ada kesal mending omongin langsung aja sama aku.
Suamiku cuma mengiyakan, dan aku nunggu2 suamiku ga pernah nyampein ke
mertuaku, aku cemberut kesal merasa gapernah dibela sama suami. Dari
kejadian ini, aku semakin kentara memeperlihatkan raut mukaku yang
terlihat jengkel sama mertua, dan mertua ga pernah betah dirumah, jadi
suka lebih sering jalan ke tetangga2, mungkin makin gosipin aku.
Entahlah. Padahal andai mertua nanya aku kenapa sikapku kayak gini,
pasti aku omongin baik2. Tapi ngga, justru malah makin menjadi ngomongin
aku. Aku masih tahan, sabar nunggu waktu yang tepat. Dan puncaknya,
kemarin hari selasa, ibuku datang seorang diri main kesini dan kebetulan
mertuaku lagi ada di warung tetangga, di rumah ha ya ada aku, suami dan
anakku yang lagi tidur.
Aku
lagi melipat baju dikamar, ibuku masuk dan aku persilahkan masuk
ke.kamar aku ngobrol dikamar aja, sambil melipat baju dan jagain anakku
tidur. Lagi ngobrol, terlihat mertuaku pulang masuk rumah, dan menyadari
ada ibuku dikamarku, karena gorden kamarku sengaja terbuka. Tapi apa?
Mertuaku lewat gituh aja tanpa nyapa ibuku padahal dia noleh ke kamarku.
Ok, mungkin mau nyimpen dulu keresek ang dia bawa ke dapur.
Sampai
anakku bangun, lalu kami bawa teras depan. Anakku digendong ibuku. Aku
tungguin mertuaku ga keluar2 dari dapur menemui ibuku, padahal mertua
lagi di ruang tengah Tt tau piring. Sampai ibuku gendong anakku ke
depan, mertuaku baru keluar dan sibuk bolak balik jemuran dengan wajah
tanpa dosanya. Lalu pergi lagi ke warung tempat gosipnya.
Ibuku
ga lama balik lagi, lama mertua ga balik2 nemuin ibuku. Sampai terlihat
balik ke rumah, tapi pura2 ga lihat dan sibuk bolak balik jemuran lagi.
Mungkin kalo ibuku ga nanya duluan, mertua gabakal nyamperin dan
salaman, abis itu buknnya nemenin ngobrol malah balik lagi ke warung
gosipnya tanpa basa basi bilang santai aja dia mau ke depan. Kok ada ya
manusia kaya gituh, ga menghormati tamunya, segitu juga ibuka besannya
lho.
Sampai
ada tamu lain, ibuku masih di sini, tamu itu mau menemui mertua dan aku
diminta manggil mertua. Aku cariin mertua dan ternyata, emang benar2
keterlaluan dia ninggalin ibuku tanpa di sambut dengan asyik cekakak
cekikik bergosip ria di warung. Aku semakin kesal, marah, ingin rasanya
bilang saat itu juga. Tapi aku tahan karena ada tamu dan ibuku.
Sampai
ibuku pulang, dan tamu pergi, mertuaku balik lagi ke warung. Dam aku
meluapkan kekesalan aku sama suami minta dia ngasih tahu mertua. Suamiku
mengiyakan. Dan seperti biasa, suamiku tak kunjung bilang ke mertua,
kekesalanku yamg terpendam aku utarakan sendiri sama mertua hari ini di
depan suamiku, dan adik angkat suamiku yang kebetulan pulang.
Mertuaku
sedang duduk di kursi teras, aku yang habis pulang dari warung,
berpura2 dengar omongan tetangga yang gosipin aku. Aku sindir mertua,
dengan bilang bahwa aku orang yang jarang keluar rumah, jarang bergaul
dan berkumpul, apalagi ngomongin orang, aku keluar seperlunya, aku kesal
sama mertua pun gapernah aku gosipin ke tetangga ataupun ke keluarga
dirumah. Dan apa yang terjadi? Mertuaku terpancing dan jujur sendiri
bahwa memang dia sering gosipin aku sama tetangga yang lain.
Dari
situlah aku mulai keluarkan unek2 aku selama tinggal disini sampai
kejadina sama ibuku hari itu. Dan sebenarnya masih banyak lagi, dan
mertua ga tera dan ga mau ngaku salah, puncaknya dia pergi ke dalam
rumah nangis sesenggukan ngadu ke adik iparku. Dan kalian tahu nangisnya
seperti apa? Dia nangis layaknya anak kecil yang tantrum sampai guling2
dilantai gamau disalahkan, padahal aku ngomong pelan2 dan belum semua
unek2 aku keluarkan.
Suami
dan adik iparku bingung harus gimana, mengingat memang watak dan sifat
mertua seperti itu. Yang mana segimanapun mertua salag, kalau terlampau
dipojokkan akan ngadat seperti itu. Aku hanya meringis dan berpikir
curang. Aku belum nangis saat kejadian ini, masih kuat karena sambil
gendong anakku juga.
Dan
tiba2, mertuaku keluar rumah ke jalan sambil nangis kenceng mencari
orang yang nyampein cerita dia ke aku. Aku bilang ga ada, aku hanya
menjebak dengan sindiran dan ternyata feeling ku kuat.
Dia
makin menjadi2 dong nangisnya, sampai ngeluarin baju dari lemari mau
pergi, tapi ditahan sama adik iparku. Akhirnya dia semakin nafsu dan
nangis guling2 dilantai sambil maki2 aku kaya orang kesurupan. Dan hal
ini mengundang perhatian tetangga yg lain. Ibunya si sobat dan tetngga
depan rumah yang julid datang nyamperin ke rumah. Aku kira bakal belain
aku, atau setidaknya jadi penengah, ternyata aku malah makin
terpojokkan.
Ibunya
si sobat malah minta aku buat minta maaf, biar nangisnya reda, adik
ipar aku juga sama ditambah minta aku buat ngalah karena memang watak
dia kaya gituj katanya, si julid malah ngomporin, bilang mertua jangan
kemana2 itu rumah mertua dan jangan mau kalah, seolah2 biarin aja aku
yang pergi. Suami? Dia belain sih dengan nasehatin mertua, dan minta
dengerin baik2 dulu, tapi bukan malah membantu, malah semakin membuat si
mertua ngamuk menjadi2. Jadi suamiku kebingungan sendiri.
Pikiranku
berkecamuk, ingin rasanya pergi dari keadaan ini saat itu juga,
mengingat aku ga ada satupun yang membela aku dan berpihak sama aku.
Semua tetangga melihat tajam ke arahku dan mengasihani mertuaku. Apakah
aku salah? Dimana letak salahnya aku? Aku ga bisa bebas berekspresi dan
mengutarakn kekesalanku saat ini, melihat anakku, aku berusaha ngalah
dengan minta maaf duluan sama mertuaku, bukan untuk menikhlaskan
kekesalanku. Hanya agar dia berhenti ngamuk2 kaya anak kecil.
Minta
maaflah aku dengan syarat, jangan pernah lagi ngomongin aku ke orang
lain. Kalo ada kesal sama aku lebih baik diomongin langsung ke aku, taoi
apa responnya? Mertuaku mau ngamuk lagi dengan alasan aku membahas lagi
masalah itu, intinya dia gamau disalahkan dan aku harus minta maaf
tanpa syarat. Aku korban, aku pula yang harus mengalah?
Aku
masuk kamar, saat anakku tidur, aku mulai nangis sesenggukan dibawah
bantal agar tak terdengar siapapun, bayangkan jadi aku, ga adakah
satupun orang yang kasihan sama aku? Atau sedikit saja mau duduk dengar
ceritaku, disini dikampung suamiku ga ada satu pun, bahkan suamikupun
tetap hatinya masih berat sama ibunya, ditambah adik iparku mewanti2
suamiku untuk jangan ninggalin ibunya.
Suamiku
datang menghampiri, dan coba nenangin aku. Tapi nangisku semakin
menjadi, karena kesal masalahnya malah makin runyam karena makin banyak
tetangga yang tau, dan aku yang disalahkan, aku jadi ga berani keluar
karena takut tatapan tetangga2, mertua yang mungkin puas sendiri tertawa
jahat merasa menang, karena curang pumya.senjata nangis ngamuk guling2
dilantai.
Jadi,
sekarang aku bingung. Aku gapunya tempat cerita. Walau bagaimanapun aku
takut belum berani bercerita ke keluargaku tentang masalah ini. Makanya
aku nulis cerita ini disini, siapa tahu ada yang mau mengerti dan
minimal mengurangi beban hati dan pikiranku.
Haruskah
aku pulang ke rumah orangtuaku? Dan suami tetap tinggal dengan ibunya?
Lalu apakah arti sebuah pernikahan kalau tinggal saja berpisah2 seperti
ini. Lalu, haruskah aku tetap bertahan disini dengan batin yang terus2an
disiksa, harga diri yang dinjak2 terus2an harus mengalah tanpa
pembelaan siapapum dan suami yang kurang tegas, apa kabar nanti dengan
mentalku. Atau apakah aku harus memilih jalan pisah dengan suamiku? Lalu
bagaimana dengan nasib anakku, kenapa dia yang harus jadi korban
keegoisan orang2 dewasa. Jujur, suamiku memang baik, dapat diandalkan,
pekerja keras, tanggung jawab, ibadahnya bagus, tapi satu dia kurang
tegas.
Padahal
inginku hanya ingin berbakti sama suami, ikut kemanapun suami
membawaku. Tapi tentunya umah tangga butuh kenyamanan, kebebasan
menentukan arah rumah tangganya mau dibawa kemana, bukan rumah tangga
yang selalu disetir oleh ibu mertua, apa2 harus bagaimana ibu mertua,
maka beruntunglah bagi kalian yang dapat mertua baik menganggap kalian
seperti anaknya sendiri. Hanya orang2 yang bernasib sama seperti saya
yang mampu merasakan bagaimana rasanya tinggal seatap dengan mertua yang
seperti ini.
Asal
kalian tau, aku merengek.minta pulang aja ke rumah orang tuaku. Semtara
suamiku masih berkecamuk dalam kebingungannya. Tapi andai saja mertuaku
mau sebentar saja duduk mendengar keluh kesahku, apa yang menjadi
kekesalanku selama ini ke dia, dan dia juga mau menumpahkan unek2nya
kepadaku, kita saling memaafkan, mencari jalan keluar baiknya gimana,
mungkin aku bisa nerima. Toh maunya aku hanya ingin mertua nganggap aku
sebagai anaknya, akur, ngasuh anakku bareng2, ga ikut campur masalah
rumah tangga anaknya, jika ingin pisah rumah beri dukungan, lagian kita
juga ga bakal nelantarin, pasti kita sesekali nginep, sakit dijenguk, di
urusin. Sederhana kok, ga neko2 sampe minta emas batangan, sesusah
itukah?
Oia,
mertuaku selalu nyangka aku dikasih uamg banyak sama suamiku. Karena
mungkin suamiku sudah jarang ngasih banyak kaya waktu belum nikah dulu.
Bahkan suamiku pernah ga ngasih, karena usaha dagangnya lagi sepi,
mungkin uang yang suamiku berikan sama mertua bisa aja cukup kalau untuk
beli beras lauk dan jajan, tapi pasti ga akan pernah merasa cukup kalau
digunakan untuk menutupi hutang2nya sama 5 orang bank keliling yang
saya tahu suka bolak balik nagih ke rumah. Iya, mertuaku banyak
hutangnya ke bank keliling entah untuk apa uang itu gapernah tahu
sigunakan untuk apa, atau mungkinkah hanya ikut2an tetangga yang pada
minjam juga.
Tetangga
yang lain enak, minjam ke bank keliling dipakai modal dagang,
ngewarung, jadi uanya muter. Lah mertuaku? Cuma ngandelin pemberian dari
anak buat byar2 hutangnya, ya ga bakal cukup. Sementara adik ipar yang
jarang pulang gapernah ngasih uang gede. Ya ga ketulungan lah
hutang2nya, makanya seringkali uring2an nyebut gapunya uang, sementara
suami ngasih ke.mertua buat makan dan jajan, bukan buat bayar hutang.
Iya kalau suamiku penghasilannya menentu dan gede, kita bisa makan tiap
hari aja alhamdulillah selalu di syukurin. Tapi mertua gapernah mau
tahu, sering ditegur buat berhenti ikutan bank keliling, responnya malah
balik marah.
Makanya
aku bilang istilah PERGI SULIT BERTAHAN SAKIT, bakal lebih cocok di
keadaanku saat jni.aku bener2 buntu saat ini harus gimna? Pergi dari
sinikah? Lingkungan ini udah ga nyaman buat aku, semuanya memusuhiku,
kenapa orangtua gapernah salah? Kenapa anak yang selalu durhaka.walau
pun orang tuanya salah? Ga adakah orangtua durhaka?
Apakah aku harus tetap bertahan dengan tiap hari hari menahan batin yang tersiksa? Tanpa bisa bebas mengungkapkan pendapat?
Atau
aku harus berpisah saja, biar adil. Aku tenang di rumah orangtuaku
dengan anakku, suamiku juga tenang ga bimbang lagi buat ninggalin
ibunya. Akupun belum berani cerita ke keluarga, aku bener2 bingung.
Sampai gabisa tidur karena banyak pikiran.
Semoga kisah ini dapat menjadi pelajaran bagi kaum laki-laki. Silahkan tinggalkan kolom komentar ya.. he...
Sumber Cerita :
Jawaban untuk Apa yang membuatmu menangis hari ini? oleh Iwa Kartiwa